Edisi 1836
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sukses dalam beribadah merupakan harapan semua hamba yang baik. Karena sukses dalam beribadah, berarti ibadahnya diterima. Dan tidak ada satupun hamba yang tidak ingin ibadahnya tidak diterima.
Ketika Anda melakukan sebuah aktivitas, Anda disebut sukses ketika Anda berhasil mendapatkan tujuan yang Anda harapkan. Demikian pula dalam masalah ibadah, Anda disebut sukses, ketika Anda telah meraih tujuan disyariatkannya ibadah itu. Sehingga dengan memahami tujuan disyariatkannya suatu ibadah, kita bisa mengukur sejauh mana keberhasilan ibadah kita dan di saat yang sama, kita juga bisa melakukan evaluasi, ketika kita tidak berhasil menggapai tujuan itu.
Karena itulah, Allah Ta’ala banyak menjelaskan tujuan disyariatkannya berbagai macam ibadah. Diantara tujuan diwajibkan shalat, karena ini mencegah setiap perbuatan keji dan munkar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
”Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”. (Q.S. al-Ankabut: 45)
Diantara tujuan diwajibkan ibadah dalam bentuk mengeluarkan harta, agar harta tidak hanya hanya berputar di sekitar orang-orang kaya. Harta yang dikeluarkan itu bisa membantu orang yang tidak mampu, sehingga dia bisa tetap melakukan aktivitas ibadah, tanpa harus meluangkan banyak waktu untuk mencari dunia.
Dan di antara tujuan Allah Ta’ala wajibkan puasa, agar mereka menjadi hamba yang bertakwa.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah: 183)
Ada dua fungsi ketika kita mengetahui tujuan disyariatkannya ibadah,
Pertama, untuk mengetahui apa yang menjadi harapan seseorang dalam ibadah. Sehingga ini akan mengarahkan semangatnya dalam melakukan ibadah itu.
Kedua, sebagai bahan evaluasi ketika dia tidak mendapatkan tujuan itu. Apa sebab dia gagal meraih tujuan itu. Bagian mana yang belum sempurna, sehingga harus dilakukan perbaikan.
Dengan ini, kita bisa menyusuri kualitas ibadah puasa yang kita lakukan.
Mengukur Puasa dengan takwa
Kita telah sepakat, tujuan utama Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk berpuasa adalah agar kita menjadi pribadi yang bertakwa.
Namun, benarkah ketika kita selesai melaksanakan puasa Ramadhan, kita sudah menjadi orang yang bertakwa?
Apakah setiap kaum muslimin yang lulus melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, secara otomatis menjadi insan yang bertakwa?
Apakah setiap orang yang menjalankan ibadah selama Ramadhan, ibarat bayi yang baru dilahirkan dari ibunya? Ataukah justru sebaliknya…, banyak diantara kita, atau kaum muslimin yang keluar bulan Ramadhan, tapi masih memiliki sifat yang jauh dari ketakwaan?
Kita tidak bisa memberikan jawaban yang pasti untuk pertanyaan di atas. Namun, yang jelas realita menunjukkan bahwa kebanyakan kaum muslimin ketika melepas kepergian Ramadhan, mereka kembali pada kebiasaan buruk mereka sebelumnya. Tidak jauh jika kita menyatakan bahwa bisa jadi ini indikator mereka belum mendapatkan predikat takwa.
Melepas Ramadhan Tanpa takwa
Ditegaskan dalam beberapa hadits, ada di antara kaum muslimin seusai melaksanakan puasa Ramadhan, mereka belum mendapatkan ketakwaan. Mereka masih belum diampuni dan bergelimang dengan dosa maksiat.
Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan beliau membaca “Amin” tiga kali. Para sahabat-pun bertanya, apa gerangan yang menyebabkan beliau membaca “Amin” tiga kali. Kemudian beliau bersabda: “Jibril berdoa di sampingku: (salah satunya):
“Wahai Muhammad, orang yang berjumpa bulan Ramadhan, namun dosanya belum diampuni, Allah Ta’ala akan menjauhkannya.”
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka aku ucapkan Amiin” (H.R. Ibnu Hibban 409 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Do’a ini diucapkan oleh malaikat terbaik, yaitu Jibril, dan diaminkan oleh manusia terbaik, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa mustajabnya do’a ini. Tentu kita sangat berharap tidak mengalami seperti yang disebutkan dalam do’a itu.
Namun sayangnya, yang sangat menyedihkan, keadaan ini dialami oleh kebanyakan kaum muslimin. Banyak orang yang mungkin bisa dikatakan ‘gagal’ dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Betapa banyak orang yang berpuasa, sementara yang dia dapatkan dari puasanya hanyalah rasa haus dan dahaga…” (H.R. Ahmad 8856, Ibn Majah 1760, dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Anda bisa renungkan kalimat “yang didapatkan hanya lapar dan dahaga.”
Apa yang bisa Anda simpulkan?. Tidak jauh jika kita menyatakan, bisa jadi orang ini tidak mendapatkan pahala. Dan itu dialami oleh kebanyakan mereka yang berpuasa. Mengapa bisa demikian? Bukankah kita telah melakukan banyak ketaatan? Bukankah mereka telah melaksanakan berbagai macam bentuk ibadah?
Ya.., benar. Mereka telah melakukan itu semua…, namun di saat yang sama, mereka juga melakukan perbuatan yang menyebabkan pahala ibadah itu hilang. Ini berarti ada perbuatan yang bisa menyebabkan pahala puasa yang mereka lakukan menjadi gugur, sehingga tidak bernilai sama sekali.
Dua Jenis Pembatal Terkait Puasa
Di sinilah penting bagi kita untuk mengetahui penyebab kegagalan ibadah. Bahwa ternyata, kegagalan yang dialami seseorang ketika ibadah, bukan semata karena dia melakukan pembatalnya. Namun ada pelanggaran lain yang menjadi sebab amal ibadah seseorang menjadi gagal. Bahkan bisa jadi, ini sumber kegagalan terbesar. Sumber kegagalan itu adalah pembatal pahala puasa.
Mari kita pahami, terkait pembatal dalam masalah ibadah, di sana ada dua bentuk,
Pertama, pembatal ibadah itu sendiri.
Itulah segala sesuatu yang jika dilakukan ketika melaksanakan ibadah tersebut, bisa menyebabkan ibadah ini batal dan harus diulangi. Sebagai contoh, dalam ibadah puasa. Pembatal puasa diantaranya adalah makan, minum, hubungan badan yang dilakukan dengan sengaja. Siapa yang melakukan salah satu dari pembatal ini, maka puasanya batal dan dia wajib diganti di bulan yang lainnya.
Untuk pembatal jenis pertama ini, kita tidak perlu terlalu merisaukan. Karena banyak di antara kaum muslimin yang sudah memahaminya. Dan bahkan mereka berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukannya. Sampai yang bukan pembatal sekalipun, terkadang mereka anggap sebagai pembatal.
Kedua, pembatal pahala ibadah. Artinya, ketika pembatal ini dilakukan, amal ibadah kita tetap sah, hanya saja perbuatan ini bisa menggugurkan pahala ibadah yang kita lakukan. Dalam kasus puasa, pembatal pahala puasa adalah semua perbuatan maksiat baik kecil maupun besar dan semua perbuatan sia-sia yang menyibukkan seseorang, sehingga tidak sempat melaksanakan ketaatan.
Pembatal kedua inilah yang selayaknya lebih kita waspadai.
Bahkan sebisa mungkin kita informasikan kepada yang lain. Mengingat masih banyak di antara kita yang belum memahaminya. Inilah yang diingatkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya melalui bebarapa sabdanya, diantaranya,
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah Ta’ala tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (H.R. Bukhari 1903, Abu Daud 2364, Ibnu Hibban 3480 dan Tirmudzi 711)
Yang dimaksud “qauluz zur” adalah semua ucapan dusta, kebatilan, perkataan haram, dan yang menyimpang dari kebenaran. Sedangkan maksud “al-Amal bihi” adalah semua perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Demikian keterangan al-Hafidz al-Aini dalam Umdatul Qori (10/276).
Dan seperti inilah yang dipahami para ulama. Kewajiban orang puasa, harus menahan dirinya jangan sampai terjerumus ke dalam maksiat. Ibnu Hibban dalam shahihnya menyatakan,
Beberapa dalil yang menunjukkan bahwa puasa hanya bisa sempurna jika diiringi dengan menjauhi perbuatan yang terlarang, tidak hanya menjauhi makan, minum, atau hubungan badan semata. (Shahih Ibnu Hibban).
Juga disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hakekat puasa bukanlah menahan makan dan minum, namun puasa yang sejatinya adalah menahan diri dari perbuatan al-Laghwu dan rafats. Jika ada orang yang mencelamu atau bertindak bodoh kepadamu maka katakanlah: Saya sedang puasa.” (H.R. Hakim , Ibn Khuzaimah, dan dishahihkan al-Albani)
Dan yang dimaksud “al-laghwu” adalah segala perbuatan sia-sia, yang bisa melalaikan seseorang untuk melakukan ketaatan. Sedangkan yang dimaksud “ar-rafats” adalah semua ucapan dan perbuatan jorok.
Sebagai hamba Allah Ta’ala yang baik, tentunya kita sangat menginginkan agar amal kita mendapatkan pahala yang sempurna, pahala terbaik yang Allah Ta’ala janjikan kepada hamba-Nya. Sangat disayangkan, ketika amal yang kita lakukan di bulan yang penuh berkah ini, harus hilang gara-gara sikap kita yang kurang menjaga adab dalam berpuasa.
Allahu Ta’ala a’lam
Disarikan dari https://muslimah.or.id/8486-bersemilah-ramadhan-3.html
Dimurajaah oleh Ustaz Abu Salman, B.I.S.